Beberapa minggu ini saya berusaha merapihkan benang kusut memori masa lalu yang sudah jarang ditarik, diluruskan dan kemudian dilipat rapih. Kusut disini bukan berarti memori masa lalu penuh dengan keruwetan dan keburukan, walaupun memang pastinya terdapat peristiwa yang tidak diinginkan dalam kusut benang itu. Benang tersebut mulai saya rapihkan dari pangkalnya; menyusun peristiwa demi peristiwa masa lalu, menyinggahi kembali tempat yang sudah dijejaki, dan menyapa wajah-wajah mereka yang ikut serta mengantarkan saya sampai saat ini. Tidak semua benang tersebut tersusun rapih, ada beberapa kerutan disana-sini. Begitupun memori saya, ada beberapa kenangan, tempat, dan wajah yang tidak tergapai untuk diingat ulang. Namun saya ingat sekali, diantara wajah-wajah itu terdapat guru ngaji, tukang becak, pendosa, tentara, ustadz, dosen, supir, teman, sahabat, dan karakter-karakter lainnya. Tentunya tidak lupa kedua matahari saya!
Asal muasal merapihkan benang memori ini adalah kenyataan bahwa diri ini sudah terlalu lama buta dan dibutakan. Maksudnya?! pertanda… pertanda. Saya lupa memperhatikan pertanda dari setiap peristiwa. Pertanda dari setiap temu. Pertanda dari segala raut rupa dan sapa. Terlalu gampang dilewati tetapi tidak meninggalkan berkas untuk menambah nilai kehidupan di kemudian hari. Momen bahagia memang menghasilkan kenangan yang bahagia, tetapi saya cuek akan pertanda yang muncul baik terang-terangan maupun secara sembunyi yang minta untuk dicari. To be continued…