Kau berkesimpulan “kita bukan takdir”
Aku bertanya, “sejak kapan aku menganggapmu sebagai takdir Nona?”
Kau menyergah, “Lantas selama ini untuk apa kau mampir berhenti?”
“Urusan denganmu tidak pernah tidak sederhana ya…, sedari awal aku tidak ada niatan menjadikanmu stasiun terakhirku. Jangan terlalu dini memangkas waktu! Aku mampir mengajak bersalaman, bukan mengajak bergandengan tangan. Itu berbeda Nona!”

“Apa Nona telah lupa jika kau sendiri yang menyalamiku dengan keras dan tegas?”

Lihat kan, tak heran aku ingin menciptakan jarak.  Sikapmu membuat trauma, nona. Aku tidak ingin tertimpa benang kusut untuk ketiga kali. Susah dan teramat lelah untuk menguraikannya kembali. Tidak ada kalimat “biarkan takdir berjalan dengan sederhana tanpa dipaksa” dalam kamusmu.

Raut wajahmu lembut dan hatimu memang baik hati, tapi soal takdir kau mengendus dengan terburu-buru dan ruwet sekali. Cepat dan tajam.
Aku tidak pernah bisa menerka cuaca apa yang sedang ada dalam hatimu itu.

Mungkin memang benar, cara terbaik untuk membuatmu tidak terluka adalah menjadi dingin seketika.  Agar resahmu segera lenyap dan kau bahagia seperti sediakala sebelum aku tiba. Ya, meskipun cara ini membuatmu memakiku. Tidak elok sikapku, katamu.

Aku mendoakanmu, semoga kau selalu bahagia, Nona.